Asal Pengunjung

SELAMAT DATANG
Selamat datanf di lapak MAKRIFATBUSINESS untuk order bisa melalui marketipace Shopee Tokopedia Bukalapak Lazada dengan nama lapak makrifatbusiness atau order via WA 08123489038 email : imronpribadi1972@gmail.com

Cari Disini

Translate

Total Tayangan Laman

Recent Post


Jumat, 22 Oktober 2010

ILMU HUKUM INDONESIA: PLURALISME∗


Oleh : Erman Rajagukguk∗∗
Ketika saya diterima menjadi mahasiswa hukum, dalam masa perpeloncoan,
seorang senior bertanya : “Mau apa masuk fakultas hukum?”. Dengan gagah saya
menjawab : “Mau menyusun hukum yang berkepribadian Indonesia menggantikan
hukum kolonial.” “Ach tak ada itu, jadi Sarjana Hukum mau cari duit”, jawab senior
yang bersangkutan. Jawaban saya itu dipengaruhi oleh yargon politik masa itu Manipol –
Usdek, yang salah satunya adalah kepribadian Indonesia. Empat puluh satu tahun
kemudian, hari ini, sampai saya menjadi Guru Besar Hukum, dua-duanya tidak terjadi,
baik hukum yang berkepribadian khas Indonesia atau menjadi Sarjana Hukum untuk
mencari duit.
Saya tertegun membaca undangan IAIN Sunan Gunung Jati agar saya berbicara tentang
“Menggagas ilmu hukum Indonesia.” Adakah ilmu hukum yang khas Indonesia ?
Sebelum saya dapat menjawab pertanyaan tersebut, izinkan saya terlebih dahulu
menyampaikan apa yang dimaksud dengan ilmu hukum (jurisprudence). Ilmu hukum itu
lebih besar dan lebih luas dari hukum. Lord Radcliffe, dalam “The Law and Its Compass”
(1961) mengatakan:
“you will not mistake my meaning or suppose that I depreciate one
of the great humane studies of I say that we cannot learn law by
learning law. If it is to be anything more that just a technique it is to
∗ Disampaikan pada Diskusi Panel dalam rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung
ke-37, 2 April 2005. Tidak untuk dipublikasikan, belum dilengkapi catatan kaki dan kepustakaan.
∗∗ Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mendapat S.H. dari Universitas Indonesia
(1975), LL.M dari University of Washington, School of Law, Seattle (1984), Ph.D dari University of
Washington, School of Law, Seattle (1988), Wakil Sekertaris Kabinet RI.
2
be so much more than it self : a part of history, a part of economics
and sociology, a part of ethicks and a philosophy of life.”
Jadi ilmu hukum itu bagian dari sejarah, bagian dari ekonomi dan sosiologi, bagian dari
etika dan falsafah hidup bangsa.
Saya berpandangan bagi Indonesia tidak mungkin diciptakan atau disusun satu
ilmu hukum Indonesia yang uniform karena alasan sejarah, pluralisme masyarakat
Indonesia dan Indonesia bagian dari masyarakat global.
Pertama, sejarah Indonesia tidak terlepas dari perkembangan globalisasi ekonomi dan
globalisasi hukum pada masa yang lampau dan sekarang. Globalisasi ekonomi dimulai
dari perdagangan rempah-rempah sampai masa kolonialisme: perdagangan dan
penjajahan tidak hanya membawa komoditi Indonesia kepasar dunia, tetapi juga
membawa hukum baru ke negeri ini. Sekarang globalisasi ekonomi yang berujung pula
pada globalisasi hukum berlangsung dengan damai, antara lain melalui perjanjian. Oleh
karenanya setidak-tidaknya empat sistim hukum hidup berdamping-dampingan secara
damai di Indonesia dewasa ini: Hukum Adat, Hukum Islam, “Civil Law” dan “Common
Law.”
Sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika: “Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu,”
maka sistem hukum di Indonesiapun mengandung pluralisme seiring dengan
perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia.
Pertama-tama hukum Adat adalah hukum yang hidup pada masyarakat Indonesia
yang berbeda-beda suku bangsa. Hukum Adat adalah kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat yang ditaati oleh anggotanya dan kebiasan itu mempunyai sanksi bila ia tidak
diikuti. Bidang Hukum Adat ini meliputi hukum keluarga yaitu warisan, perkawinan,
pengangkatan anak, hukum atas tanah dan hukum yang berkaitan dengan kegitan
3
perdagangan. Di beberapa daerah dikenal pula delik Adat atau pidana Adat. Hukum Adat
ini berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Perubahan Hukum Adat itu
terjadi baik karena adanya perubahan kesadaran hukum masyarakat maupun karena
dorongan dari badan peradilan. Hukum Adat yang sebagian besar tidak tertulis kemudian
mendapatkan tempatnya dalam putusan-putusan pengadilan formal, sehingga lama
kelamaan perkembangan Hukum Adat tersebut dapat diikuti melalui putusan-putusan
pengadilan. Sampai saat ini Hukum Adat itu masih hidup di beberapa tempat dan tidak
jarang menimbulkan masalah, terutama yang berkaitan dengan tanah Ulayat. Hukum
Adat juga yang menyebabkan tidak dapat diunifikasikannya bidang hukum keluarga di
Indonesia karena ia berkaitan dengan budaya masyarakat setempat. Namun Prof.
Soepomo, salah seorang bapak Hukum Adat Indonesia dalam pidatonya di Washington
DC pada tahun 1950 sudah memperkirakan prinsip-prinsip Hukum Adat akan tetap
mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia yang modern, karena mengandung asasasas
yang universal.
Di samping Hukum Adat, menyebarnya agama Islam ke Nusantara, membawa
datangnya Hukum Islam. Di beberapa daerah yang penganut Islamnya kuat seperti di
Sumatera Barat dan Aceh, masyarakat menerapkan Hukum Islam dalam bidang
perkawinan dan warisan. Dalam sejarah hukum, Hukum Islam hidup berdampingan
dengan Hukum Adat, sehingga melahirkan perdebatan hukum manakah yang
diberlakukan bagi masyarakat setempat. Snouck Hurgronje memperkenalkan Teori
Receptie, yaitu Hukum Islam baru berlaku kalau Hukum Islam itu sudah terlebur ke
dalam Hukum Adat. Dengan demikian bagi penganut agama Islam belum tentu tunduk
pada Hukum Islam. Namun Teori Receptie ini dibantah oleh antara lain Sajuti Thalib
4
yang mengatakan bahwa Hukum Adat baru berlaku jika ia tidak bertentangan dengan
Hukum Islam. Sajuti Thalib mengambil contoh peranan hukum Islam di Minangkabau:
“Adat bersendikan Syara’, syara’ bersendikankan Kitabullah.” Di dalam praktek
beberapa Pengadilan Negeri tetap menerapkan Teori Receptie. Dalam perkembangannya
sekarang, Hukum Islam tidak saja mengatur masalah perkawinan dan warisan tetapi juga
meluaskan pengaruhnya ke bidang hukum ekonomi seperti perbankan, asuransi dan pasar
modal. Undang-Undang Perbankan Indonesia, misalnya, telah menetapkan bahwa bank
tidak saja menjalankan usahanya berdasarkan bunga tetapi juga dengan cara lainnya. Cara
lain tersebut misalnya bagi hasil yang dijalankan oleh Bank Syariah. Dibidang Tata
Negara, perkembangan politik dalam negeri yang melahirkan otonomi daerah,
memberlakukan Syariat Islam untuk daerah Aceh yang dituangkan dalam Undangundang
Otonomi Khusus Nangro Aceh Darussalam.
Kolonialisme Belanda ke kepulauan Nusantara telah membawa datangnya hukum
Nederland yang berasal dari Code Napoleon. Hukum ini dimasukkan ke dalam sistem
Civil Law yang berasal dari Perancis dan Perancis menggalinya dari hukum Romawi dan
mungkin juga dari Hukum Islam yang berkaitan dengan kontrak. Karakteristik dari Civil
Law bahwa hukum itu adalah undang-undang yang terkodifikasi. Sistem ini berlainan
dengan Common Law yang disusun oleh raja Henrry II untuk mempersatukan Inggris
raya pada abad ke 13. Karakteristik Common Law adalah bahwa hukum itu lahir dari
putusan-putusan hakim. Berdasarkan asas konkordansi maka hukum di Nederland
berlaku bagi penduduk di Hindia Belanda mulai tahun 1848. Pada waktu itu penduduk
Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, Bumi Putra. Golongan
penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara sukarela
5
maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHDagang),
dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam perkembangannya
berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah Indonesia merdeka
memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang tersendiri seperti Undang-
Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Merk, Undang-undang Rahasia Dagang. Di negeri asalnya
sendiri ketiga kitab undang-undang ini telah mengalami berkali-kali perubahan, di
Indonesia perubahan itu terjadi dengan lahirnya berbagai undang-undang baru yang
dulunya diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undangundang
ini juga terjadi oleh karena adanya keputusan-keputusan pengadilan yang
menetapkan penafsiran terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi
yurisprudensi.
Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya modal asing pada
tahun 1967, mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan
berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negara-negara maju, pengaruh
Common Law secara disadari atau tidak masuk ke Indonesia. Common Law
mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi
internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya, perjanjian antara para pengusaha,
lahirnya institusi-institusi keuangan baru dan pengaruh sarjana hukum yang mendapat
pendidikan di negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan
Australia. Pertama, datangnya modal asing ke Indonesia menyebabkan Indonesia menjadi
anggota berbagai konvensi internasional di mana hukum Common Law adalah dominan.
6
Perjanjian yang terakhir amat mempengaruhi Indonsia dalam bidang hukum Ekonomi
adalah GATT (General Agreement on Tariff and Trade) atau WTO (World Trade
Organisation), TRIMs (Trade Related Invesment Measures) atau peraturan di bidang
investasi yang berhubungan dengan perdagangan dan TRIPs (Trade Releted Intellectual
Property Rights) atau peraturan yang berhubungan dengan hak milik intelektual, banyak
mempengaruhi undang-undang di bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Kedua,
datangnya modal asing yang dalam implementasinya melahirkan antara lain Joint
Venture Agreement, perusahaan-perusahaan waralaba negara-negara maju yang
memperkenalkan Indonesia pada Franchise Agreement, berbagai perusahaan Indonesia
yang memerlukan pinjaman jangka pendek membawa mereka kepada pengenalan
Commercial Paper (CP). Kesemuanya itu datang dari Common Law sistem yang
sebelumnya tidak dikenal di Indonesia. Kedudukan Indonesia yang memerlukan bantuan
luar negeri untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi negara ini menyebabkan juga
Indonesia meminta bantuan lembaga keuangan internasional. Negara-negara maju
berpendapat bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan tanpa pembaharuan
hukum terlebih dahulu yang akan mendukung pembangunan ekonomi tersebut. Dalam
hal ini badan-badan internasional yang didominasi oleh Common Law secara tidak
disadari membawa unsur-unsur sistem hukum tersebut ke dalam undang-undang nasional
Indonesia. “Class Action” diperkenalkan dalam gugatan perlindungan lingkungan hidup,
“Derivative Action” diperkenalkan dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada
direksi dan komisaris PT atas nama perusahaan. Sebelumnya hal-hal tersebut
tidak dikenal dalam hukum Acara Perdata Indonesia yang berasal dari Civil Law sistem.
Sarjana hukum Indonesia yang mendapat pendidikan master dan doktor di Negara-negara
7
Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia mendorong pula secara
tidak langsung pengaruh Common Law dalam undang-undang di Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri, seiring dengan terjadinya globalisasi ekonomi telah berlangsung juga
globalisasi hukum.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas Indonesia menganut pluralisme hukum:
Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law dan Common Law hidup berdampingan di
Indonesia. Dengan pluralisme hukum tersebut, yang sudah diuji dalam sejarah bangsa,
hukum dapat mendorong terciptanya persatuan nasional, pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat. Ketiganya adalah masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia
sekarang ini.
Dalam keaneka ragaman sistim hukum tersebut sulit untuk menciptakan suatu
unifikasi hukum di Indonesia secara keseluruhan. Unifikasi bisa dilakukan pada bidangbidang
hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan; perburuhan, pidana.
Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan
dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk
menggugurkan kandungan dan perkawinan sesama sex.
Namun tidak dapat dibantah, hukum sebagai sistim dari norma, dan sebagai
bentuk kontrol sosial yang berdasarkan pola tertentu dari tingkah laku manusia, maka
ilmu hukum bukan hanya sekedar pengujian bekerjanya norma tetapi juga faktor-faktor
yang aktual yang terlibat dalam penerapan dan perkembangan materi hukum dan mencari
unsur-unsur yang universal, apakah dalam rangka konsep atau pola tingkah laku yang
aktual dari masyarakat. Adalah mudah untuk mengatakan bahwa ilmu hukum adalah
akumulasi kebijakaan pemikir-pemikir besar pada masa yang lalu. Namun ilmu hukum
8
adalah disiplin yang kontemporer. Ini tidak berarti kita melupakan pemikir-pemikir
Yunani, ke Jeremy Benthem dan Hans Kelsen. Analytical jurisprudence, sociological
yurisprudence, realist yurisprudence.
Pergerakan yang siknifican dan kecenderungan yang tidak dapat kita hindarkan yaitu
berkembangnya “normative yurisprudence,” signal akan adanya kesadaran adanya
hubungan antara hukum dan teori politik. Gerakan ini menghasilkan tulisan Emanuel
Kant, Jeremy Benthem, John Stuart Mill mengenai konsep kebebasan (liberty), keadilan
(justice) dan hak (right). Disamping itu berkembang pula pemikiran “economic analysis
of law,” yang menguraikan bahwa hukum itu tidak hanya berkaitan dengan keadilan
tetapi juga penggunaan secara efisien dari sumber (resourcers). Pada tahun 1980an
berkembang pula “feminist yurisprudence” yang mendorong persamaan gender. “Islamic
Jurisprudence” berkembang pula di Indonesia dengan semakin meningkatnya penerapan
hukum Islam dalam bidang ekonomi dan tata negara. Dalam arus perkembangan berbagai
sistim hukum yang demikian itu dimanakah ”ilmu hukum Indonesia” ?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut saya ingin mengetengahkan dulu apa sebenarnya
yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang ini ? sama seperti bangsa lain dari
negara berkembang, Indonesia menghadapi tiga persoalan besar dan pokok, yaitu
persatuan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial.
Menjelang 60 tahun Indonesia merdeka, masalah persatuan bangsa belumlah
selesai. Gejolak di Aceh dan keinginan untuk memisahkan di Papua, haruslah dapat kita
selesaikan dengan kebijakan yang sedapat mungkin menghindarkan kekerasan. Kuncinya
adalah bagaimana membawa kemakmuran ke kedua daerah tersebut. Disamping itu
konflik suku dan agama setiap saat bisa timbul setempat-setempat, menandakan paham
9
kebangsaan kita belum dihayati oleh seluruh masyarakat. Persoalan besar kedua adalah
bagaimana memulihkan ekonomi, menyediakan lapangan pekerjaan untuk begitu banyak
orang. Menurut perhitungan sekitar 10 juta orang masuk dalam kategori penganggur
total. Masalah ini kait mengkait dengan pertumbuhan ekonomi dan bagaimana
menghidupkan kembali sektor riel. Masalah ketiga yang sama mendesaknya, adalah
bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertanyaan yang mendasar adalah
bagaimanakah ilmu hukum dapat berperanan untuk mengatasi ketiga masalah tersebut
sekaligus. Sebaliknya bagaimana ketiga masalah tersebut mempengaruhi perkembangan
ilmu hukum di Indonesia, karena ilmu hukum itu sendiri bagian dari perkembangan
politik, ekonomi, sosial dan falsafah hidup bangsa. Masyarakat Indonesia yang plural dan
hidup dalam berbagai sistim hukum mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana
mengatasi ketiga masalah tersebut diatas: persatuan nasional, pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan sosial, dalam waktu yang sama. Oleh karenanya saya berkesimpulan dalam
menggagas ilmu hukum Indonesia kita perlu mengingat keanekaragaman agama, adat,
masyarakat dan sistim hukum yang hidup itu.
____________
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Item Reviewed: ILMU HUKUM INDONESIA: PLURALISME∗ Rating: 5 Reviewed By: M Imron Pribadi

Daftar ISI Label